Walet Anak beranjak dewasa sedang belajar terbang |
Anakan walet |
WALET Aerodramus fuciphagus: BURUNG DENGAN MORPHOLOGI TUBUH YANG
FUNGSIONAL
Thursday, 22 March
2012 00:56 administrator
Hampir seluruh masyarakat Indonesia pernah
mendengar kata sarang burung. Kata sarang burung yang dimaksud adalah
sarang burung walet. Sarang walet sepenuhnya dibuat dari air
liurnya dan dapat dimakan oleh manusia karena tidak beracun; oleh karena itu
burung ini juga diberi nama “Edible-nest Swiftlet”. Nama ilmiah burung
walet adalah Aerodramus fuciphagus (Thunberg, 1812).
Spesies ini diberi
nama Aerodramus yang artinya berenang di udara karena
kelincahannya terbang. Sedangkan nama fuciphagus karena
pada saat ditemukan species ini sering terlihat beterbangan di ujung buih laut
sehingga dikira merupakan pemakan rumput laut; padahal spesies ini sepenuhnya
adalah pemakan serangga tebang. Di Indonesia, spesies ini memiliki
beberapa nama, antara lain lawet dan layang-layang goa. Disebut
layang-layang goa karena secara alami spesies ini beristirahat dan berbiak di
dalam goa.
Aerodramus fuciphagus terdapat di daerah tropis, mulai dari Kep
Andaman sampai ke pulau Hainan dan pulau Sumbawa. Luasnya daerah sebaran
serta keterikatan hidup suatu populasi terhadap satu goa menyebabkan terbentuk
beberapa sub-spesies. Di Indonesia terdapat 3 sub-spesies, yaitu
(1) Aerodramus fuciphagus vestitusyang di Sumatera, Belitung dan
Kalimantan; (2) Aerodramus fuciphagus perplexus yang terdapat
di Kep Maratua; dan Aerodramus fuciphagus fuciphagus yang
terdapat di Jawa, Kangean, Bali, Lombok dan Sumbawa.
Walet merupakan salah satu burung yang berukuran
kecil, sedikit lebih kecil dari ibu jari tangan manusia dewasa. Panjang
tubuh, dari ujung paruh ke ujung ekor berkisar antara 9 sampai 12 cm.
Paruh berwarna hitam keabu-abuan, orang-orangan mata berwarna hitam, sedangkan
kakinya berwarna hitam keabu-abuan. Kaki kecil hampir tidak kelihatan
menjadikan kelompok ini seolah-olah tidak berkaki. Oleh karena
seolah-olah tidak berkaki maka familia Apodidae (= tidak berkaki). Di
dalam goa dapat dikatakan tidak ada cabang atau pun ranting tumbuhan untuk
hinggap, oleh karena itu Aerodramus harus beristirahat di
dalam goa dengan cara menggantung di dinding goa dengan bantuan kakinya.
Perubahan ini menjadikan kaki tersesuaikan untuk menggantung di dinding goa
sehingga tidak dapat lagi dipakai untuk hinggap. Ketidak-mampuannya untuk
hinggap menyebabkan setiap kali perlu beristirahat dalam mencari pakan Aerodramus harus
kembali ke dalam goa. Namun kemilikan sayap panjang dan sempit, ekor
panjang dan menggarpu menyebabkan Aerodramus sangat efisien
dalam memanfaatkan energi untuk terbangnya. Efisiensi ini ditambah
dengan tubuhnya yang ringan hanya sekitar 7 gram. Sayap serta ekor sepit
namun panjang juga meningkatkan kemampuannya dalam mengejar serangga terbang
untuk dimakan. Untuk mengurangi kegagalan dalam menyambar serangga pakan,
walet memiliki paruh yang terlihat kecil namun dengan bukaan paruh yang lebar
dan dilengkapi dengan liur lengket. Warna bulu tubuh umumnya hitam kecoklatan.
Aerodramus merupakan satu di antara hanya dua genus burung yang
memiliki kemampuan ber-echolokasi. Dengan kemampuan ber-echolokasi walet
dapat terbang dan mengenal lekuk-lekuk rongga di dalam goa yang gelap
total. Pemilihan tempat tinggal di dalam goa dengan terang cahaya kurang
dari 2 lilin diduga sebagi cara untuk menhindarkan diri dari sergapan pemangsa
yang umumnya hanya dapat melihat dalam tempat dengan terang cahaya lebih dari 2
lilin. Dengan demikian, secara alami, walet beristirahat dan berbiak di
dalam goa. Oleh karena kebanyakan goa berada di kawasan karst dan kawasan
karst kebanyakan berada di dataran rendah maka walet hanya dapat hidup di
dataran rendah. Walaupun sebagai penghuni goa, walet harus tetap mencari
serangga pakan di luar goa. Pola mencari pakan di luar goa dan membuang
sebagian kotorannya di dalam goa ternyata merupakan salah satu peran penting
walet terhadap kelestarian ekosistem goa; walet merupakan salah satu pemasok
gizi dan energi bagi ekosistem goa yang tidak memiliki “produsen”. Energi
dan gizi ini sangat diperlukan untuk menjaga keanekaragaman hayati khas
goa. Punahnya walet dari suatu goa dapat menyebabkan hancurnya ekosistem
goa beserta semua potensinya. Proses karstifikasi (= proses pelarutan
sebagian senyawa yang terdapat di kawasan karst) sangat memerlukan air sehingga
lembab nisbi udara di dalam goa karst yang masih aktif cukup tinggi. Hal
ini menyebabkan telur walet tersesuaikan dengan lembab nisbi lingkungan yang
cukup tinggi. Rusaknya tata-air di kawasan goa karst akan sangat
berpengaruh bagi kelangsungan regenerasi walet. Selain itu, pengambilan
bahan galian C di sekitar kawasan goa walet dapat merusak pencahayaan dan
lembab nisbi goa sehingga dapat menyebabkan walet meninggalkan goa.
Di Indonesia, di goa-goa tempat tinggal alaminya, populasi walet sudah semakin
rendah sebagai akibat pengunduhan sarang yang tidak memperhatikan
kelestariannya.
Sarang walet yang mutlak terbuat dari air
liurnya dan diketahui memiliki daya pengobatan menyebabkan sarang walet
memiliki nilai jual sangat tinggi. Pada awalnya, sarang walet hanya
diketahui memiliki daya pembugar tubuh bagi manusia serta penurun panas saat
sakit. Pada beberapa dekade terakhir, diketahui bahwa beberapa senyawa
yang terkandung di dalam sarang walet memiliki daya menahan pertumbuhan sel
kanker serta memperkuat ketahanan tubuh bagi penderita HIV.
Tingginya manfaat sarang walet menyebabkan benda ini sangat dicari dan menjadi
berharga tinggi. Nilai jual yang sangat tinggi menyebabkan kebanyakan sarang
walet dipanen sebelum anaknya dapat terbang meninggalkan sarang.
Akibatnya, reproduksi reproduksi walet tidak terjadi. Pengambilan sarang
walet dari goa-goa alam tanpa menghiraukan kesinambungan reproduksi sangat
mengancam kelestariannya.
Aerodramus dapat terbang di dalam gelapnya goa karena memiliki
kemampuan echolokasi. Echolokasi adalah kemampuan untuk menemukan dan
menentukan jarak adanya obyek di dekatnya dengan memancarkan suara dan
menganalisis echo ke telinganya menjadi gambaran jarak. Di bumi kita ini
diketahui hanya ada 2 kelompok burung yang memiliki kemampuan echolokasi, yaitu
“the Oilbird” atau “Guacharo” Steatornis caripensis (Caprimulgiformes,
Steatornithidae) dari Amerika Selatan bagian utara dan Trinidad, serta “cave
swiftlets” dari marga Aerodramus (Apodiformes, Apodidae) dari
kawasan Indo-Pacifik. Kedua kelompok burung tersebut memiliki kemampuan
“cavernicolous”, mempergunakan echolokasi untuk menemukan jalan mereka di dalam
goa yang gelap dengan aman sehingga kebanyakan dari mereka dapat bersarang dan
beristirahat di tempat gelap total. Echolokasi tidak terlihat
dipakai dalam mencari pakan. “Oilbird” mencari makan buah-buahan dan
biji-bijian (= “nuts”) pada malam hari dengan memanfaatkan penglihatannya,
sehingga mereka dapat terbang tanpa suara keluar dari goa. Aerodramusmakan
serangga, kemungkinan dengan memanfaatkan penglihatannya. Aerodramus juga
telah diteliti dan ternyata mampu menyambar serangga pakan yang sedang terbang
pada malam hari dengan penerangan buatan. Pengukuran sensitivitas
echolokasinya menunjukkan bahwa sungguh mereka tidak dapat menemukan sasaran
seperti serangga terbang di tempat gelap total.
Suara Aerodramus tidak sama
dengan ultrasonic (frekuensi sangat tinggi) yang dikeluarkan secara teratur
sebagaimana bunyi yang kebanyakan dikeluarkan oleh kelelawar. Echolokasi
burung dengan jelas dapat ditangkap oleh terdengar manusia sebagai suatu
rangkaian, atau gemeretuk atau bunyi kejutan yang tajam.
Frekuensi suara berkisar antara
-
1 kHz sampai sekitar
-
12 kHz (dengan puncak 2-4
kHz)
-
pada Steatornis dan
dari 1-2 kHz sampai
-
7-16 kHz (energi utama 2-7
kHz) pada berbagai spesies Aerodramus.
Selama terbang di tempat gelap total, suara klik
terpancar secara terus menerus dengan perulangan 3 sampai 20 kali per detik,
perulangan yang lebih sering dipakai pada saat mendarat atau mengatasi
rintangan. Susunan suara klik berbeda pada masing-masing spesies sehingga
hanya dengan mendengarkan pola klik maka seseorang yang terlatih dapat
menentukan bahwa di antara burung yang sedang beterbangan terdapat walet di
antaranya.
Beberapa suara klik dari spesies anggota
genus Aerodramus telah dipelajari secara mendalam; secara ringkas
terdapat 2 perbedaan nyata dari “impuls” suara, masing-masing terakhir sekitar
1 ms (milisekon) dan terpisah 5-16 ms; impuls pertama kurang kuat (“intensif”)
dari pada yang ke dua.
Klik rangkap agak menyerupai echolokasi dari kelelawar
pemakan buah Rousettus (2 impuls dengan “intensitas” yang
serupa, masing-masing 20-30 ms tetapi dengan frekuensi suara 10-65 kHz).
Kadang-kadang 3 klik dapat dihasilkan oleh Aerodramus vanikorensis
granti. Pada Steatornis dan Aerodramus maximus,
bagaimanapun, setiap klik singkat dari hentakan cepat sekitar 5-8 impuls dalam
selang waktu 20 ms. Perbedaan nyata dari kedua pola belum diperoleh
tetapi kemungkinan setiap “provider” lebih rinci informasinya tentang target
kemudian dapat memperoleh dari “impuls” tunggal.
Mekanisme klik secara umum belum
diketahui. Pada kelelawar pemakan buah Rousettus, impuls
rangkap dihasilkan oleh lidah dan ini mungkin juga terjadi pada burung.
Namun ada kemungkinan yang lain, bahwa asal suara dari salah satu bagian saluran
pernafasan, seperti “syrinx”. Bagaimanapun mereka menghasilkan suara;
suara terlihat keluar dari paruh yang terbuka. Walaupun selalu
ber-echolokasi tetapi kaki Aerodramus vanikorensis dapat
memegang berbagai bahan tumbuhan untuk sarangnya. Oleh karena itu
walaupun tinggal dan berbiak di dalam goa gelap Aerodramus vanikorensis dapat
menyusun sarangnya dari bahan tumbuhan dengan perekat sedikit air
liurnya. Lain halnya dengan Aerodramus fuciphagus; kaki
spesies ini tidak memiliki kemampuan untuk membawa bagian-bagian tumbuhan bahan
sarang sedangkan paruhnya tetap harus terbuka untuk menghasilkan suara klik
sehingga Aerodramus fuciphagus terpaksa harus membuat
sarangnya mutlak dari air liurnya.
Telinga satwa yang memanfaatkan echolokasi
merupakan penerima dari sistem olah karena itu kegunaan alat pendengar pada
jenis ini sangat menarik. Burung umumnya tidak mendengar frekuensi tinggi
(tidak sama dengan mamalia pada umumnya) dan baru diobservasi dan memberi kesan
bahwa Steatornis tidak terkecuali. Bagian dalam telinga
dan bagian pendengaran pada otak keduanya menunjukkan kepekaan lebih luas, dari
250 Hz sampai 8 kHz dengan puncak yang kuat pada 2 kHz.
Penulis: Mas Noerdjito
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thanks to coment..! mohon maaf untuk komentar yang belum sempat direspon.