Kamis, 19 Juli 2012

Apa itu Walet..???




Walet Anak beranjak dewasa sedang belajar terbang

Anakan walet 

WALET Aerodramus fuciphagus: BURUNG DENGAN MORPHOLOGI TUBUH YANG FUNGSIONAL
Thursday, 22 March 2012 00:56 administrator


Hampir seluruh masyarakat Indonesia pernah mendengar kata sarang burung.  Kata sarang burung yang dimaksud adalah sarang burung walet.   Sarang walet sepenuhnya dibuat dari air liurnya dan dapat dimakan oleh manusia karena tidak beracun; oleh karena itu burung ini juga diberi nama “Edible-nest Swiftlet”.  Nama ilmiah burung walet adalah Aerodramus fuciphagus (Thunberg, 1812). 
Spesies ini diberi nama Aerodramus yang artinya berenang di udara karena kelincahannya terbang.  Sedangkan nama fuciphagus karena pada saat ditemukan species ini sering terlihat beterbangan di ujung buih laut sehingga dikira merupakan pemakan rumput laut; padahal spesies ini sepenuhnya adalah pemakan serangga tebang.  Di Indonesia, spesies ini memiliki beberapa nama, antara lain lawet dan layang-layang goa.  Disebut layang-layang goa karena secara alami spesies ini beristirahat dan berbiak di dalam goa. 
Aerodramus fuciphagus terdapat di daerah tropis, mulai dari Kep Andaman sampai ke pulau Hainan dan pulau Sumbawa.  Luasnya daerah sebaran serta keterikatan hidup suatu populasi terhadap satu goa menyebabkan terbentuk beberapa sub-spesies.  Di Indonesia terdapat 3 sub-spesies, yaitu (1) Aerodramus fuciphagus vestitusyang di Sumatera, Belitung dan Kalimantan; (2) Aerodramus fuciphagus perplexus yang terdapat di Kep Maratua; dan Aerodramus fuciphagus fuciphagus yang terdapat di Jawa, Kangean, Bali, Lombok dan Sumbawa.
Walet merupakan salah satu burung yang berukuran kecil, sedikit lebih kecil dari ibu jari tangan manusia dewasa.  Panjang tubuh, dari ujung paruh ke ujung ekor berkisar antara 9 sampai 12 cm.  Paruh berwarna hitam keabu-abuan, orang-orangan mata berwarna hitam, sedangkan kakinya berwarna hitam keabu-abuan.  Kaki kecil hampir tidak kelihatan menjadikan kelompok ini seolah-olah tidak berkaki.  Oleh karena seolah-olah tidak berkaki maka familia Apodidae (= tidak berkaki).  Di dalam goa dapat dikatakan tidak ada cabang atau pun ranting tumbuhan untuk hinggap, oleh karena itu Aerodramus harus beristirahat di dalam goa dengan cara menggantung di dinding goa dengan bantuan kakinya.  Perubahan ini menjadikan kaki tersesuaikan untuk menggantung di dinding goa sehingga tidak dapat lagi dipakai untuk hinggap.  Ketidak-mampuannya untuk hinggap menyebabkan setiap kali perlu beristirahat dalam mencari pakan Aerodramus harus kembali ke dalam goa.  Namun kemilikan sayap panjang dan sempit, ekor panjang dan menggarpu menyebabkan Aerodramus sangat efisien  dalam memanfaatkan energi untuk terbangnya.  Efisiensi ini ditambah dengan tubuhnya yang ringan hanya sekitar 7 gram.  Sayap serta ekor sepit namun panjang juga meningkatkan kemampuannya dalam mengejar serangga terbang untuk dimakan.  Untuk mengurangi kegagalan dalam menyambar serangga pakan, walet memiliki paruh yang terlihat kecil namun dengan bukaan paruh yang lebar dan dilengkapi dengan liur lengket.  Warna bulu tubuh umumnya hitam kecoklatan.
Aerodramus merupakan satu di antara hanya dua genus burung yang memiliki kemampuan ber-echolokasi.  Dengan kemampuan ber-echolokasi walet dapat terbang dan mengenal lekuk-lekuk rongga di dalam goa yang gelap total.  Pemilihan tempat tinggal di dalam goa dengan terang cahaya kurang dari 2 lilin diduga sebagi cara untuk menhindarkan diri dari sergapan pemangsa yang umumnya hanya dapat melihat dalam tempat dengan terang cahaya lebih dari 2 lilin.  Dengan demikian, secara alami, walet beristirahat dan berbiak di dalam goa.  Oleh karena kebanyakan goa berada di kawasan karst dan kawasan karst kebanyakan berada di dataran rendah maka walet hanya dapat hidup di dataran rendah.  Walaupun sebagai penghuni goa, walet harus tetap mencari serangga pakan di luar goa.  Pola mencari pakan di luar goa dan membuang sebagian kotorannya di dalam goa ternyata merupakan salah satu peran penting walet terhadap kelestarian ekosistem goa; walet merupakan salah satu pemasok gizi dan energi bagi ekosistem goa yang tidak memiliki “produsen”.  Energi dan gizi ini sangat diperlukan untuk menjaga keanekaragaman hayati khas goa.  Punahnya walet dari suatu goa dapat menyebabkan hancurnya ekosistem goa beserta semua potensinya.  Proses karstifikasi (= proses pelarutan sebagian senyawa yang terdapat di kawasan karst) sangat memerlukan air sehingga lembab nisbi udara di dalam goa karst yang masih aktif cukup tinggi.  Hal ini menyebabkan telur walet tersesuaikan dengan lembab nisbi lingkungan yang cukup tinggi.  Rusaknya tata-air di kawasan goa karst akan sangat berpengaruh bagi kelangsungan regenerasi walet.  Selain itu, pengambilan bahan galian C di sekitar kawasan goa walet dapat merusak pencahayaan dan lembab nisbi goa sehingga dapat menyebabkan walet meninggalkan goa.   Di Indonesia, di goa-goa tempat tinggal alaminya, populasi walet sudah semakin rendah sebagai akibat pengunduhan sarang yang tidak memperhatikan kelestariannya.
Sarang walet yang mutlak terbuat dari air liurnya dan diketahui memiliki daya pengobatan menyebabkan sarang walet memiliki nilai jual sangat tinggi.  Pada awalnya, sarang walet hanya diketahui memiliki daya pembugar tubuh bagi manusia serta penurun panas saat sakit.  Pada beberapa dekade terakhir, diketahui bahwa beberapa senyawa yang terkandung di dalam sarang walet memiliki daya menahan pertumbuhan sel kanker serta memperkuat ketahanan tubuh bagi  penderita HIV.  Tingginya manfaat sarang walet menyebabkan benda ini sangat dicari dan menjadi berharga tinggi.  Nilai jual yang sangat tinggi menyebabkan kebanyakan sarang walet dipanen sebelum anaknya dapat terbang meninggalkan sarang.  Akibatnya, reproduksi reproduksi walet tidak terjadi.  Pengambilan sarang walet dari goa-goa alam tanpa menghiraukan kesinambungan reproduksi sangat mengancam kelestariannya.
Aerodramus dapat terbang di dalam gelapnya goa karena memiliki kemampuan echolokasi.  Echolokasi adalah kemampuan untuk menemukan dan menentukan jarak adanya obyek di dekatnya dengan memancarkan suara dan menganalisis echo ke telinganya menjadi gambaran jarak.  Di bumi kita ini diketahui hanya ada 2 kelompok burung yang memiliki kemampuan echolokasi, yaitu “the Oilbird” atau “Guacharo” Steatornis caripensis (Caprimulgiformes, Steatornithidae) dari Amerika Selatan bagian utara dan Trinidad, serta “cave swiftlets” dari marga Aerodramus (Apodiformes, Apodidae) dari kawasan Indo-Pacifik.  Kedua kelompok burung tersebut memiliki kemampuan “cavernicolous”, mempergunakan echolokasi untuk menemukan jalan mereka di dalam goa yang gelap dengan aman sehingga kebanyakan dari mereka dapat bersarang dan beristirahat di tempat gelap total.   Echolokasi tidak terlihat dipakai dalam mencari pakan.  “Oilbird” mencari makan buah-buahan dan biji-bijian (= “nuts”) pada malam hari dengan memanfaatkan penglihatannya, sehingga mereka dapat terbang tanpa suara keluar dari goa.  Aerodramusmakan serangga, kemungkinan dengan memanfaatkan penglihatannya.  Aerodramus juga telah diteliti dan ternyata mampu menyambar serangga pakan yang sedang terbang pada malam hari dengan penerangan buatan.  Pengukuran sensitivitas echolokasinya menunjukkan bahwa sungguh mereka tidak dapat menemukan sasaran seperti serangga terbang di tempat gelap total.
Suara Aerodramus tidak sama dengan ultrasonic (frekuensi sangat tinggi) yang dikeluarkan secara teratur sebagaimana bunyi yang kebanyakan dikeluarkan oleh kelelawar.  Echolokasi burung dengan jelas dapat ditangkap oleh terdengar manusia sebagai suatu rangkaian, atau gemeretuk atau bunyi kejutan yang tajam. 
Frekuensi suara berkisar antara
-       1 kHz sampai sekitar
-       12 kHz (dengan puncak 2-4 kHz)
-       pada Steatornis dan dari 1-2 kHz sampai
-       7-16 kHz (energi utama 2-7 kHz) pada berbagai spesies Aerodramus
Selama terbang di tempat gelap total, suara klik terpancar secara terus menerus dengan perulangan 3 sampai 20 kali per detik, perulangan yang lebih sering dipakai pada saat mendarat atau mengatasi rintangan.  Susunan suara klik berbeda pada masing-masing spesies sehingga hanya dengan mendengarkan pola klik maka seseorang yang terlatih dapat menentukan bahwa di antara burung yang sedang beterbangan terdapat walet di antaranya.
Beberapa suara klik dari spesies anggota genus Aerodramus telah dipelajari secara mendalam; secara ringkas terdapat 2 perbedaan nyata dari “impuls” suara, masing-masing terakhir sekitar 1 ms (milisekon) dan terpisah 5-16 ms; impuls pertama kurang kuat (“intensif”) dari pada yang ke dua. 
Klik rangkap agak menyerupai echolokasi dari kelelawar pemakan buah Rousettus (2 impuls dengan “intensitas” yang serupa, masing-masing 20-30 ms tetapi dengan frekuensi suara 10-65 kHz).  Kadang-kadang 3 klik dapat dihasilkan oleh Aerodramus vanikorensis granti.  Pada Steatornis dan Aerodramus maximus, bagaimanapun, setiap klik singkat dari hentakan cepat sekitar 5-8 impuls dalam selang waktu 20 ms.  Perbedaan nyata dari kedua pola belum diperoleh tetapi kemungkinan setiap “provider” lebih rinci informasinya tentang target kemudian dapat memperoleh dari “impuls” tunggal.
Mekanisme klik secara umum belum diketahui.  Pada kelelawar pemakan buah Rousettus, impuls rangkap dihasilkan oleh lidah dan ini mungkin juga terjadi pada burung.  Namun ada kemungkinan yang lain, bahwa asal suara dari salah satu bagian saluran pernafasan, seperti “syrinx”.  Bagaimanapun mereka menghasilkan suara; suara terlihat keluar dari paruh yang terbuka.  Walaupun selalu ber-echolokasi tetapi kaki Aerodramus vanikorensis dapat memegang berbagai bahan tumbuhan untuk sarangnya.  Oleh karena itu walaupun tinggal dan berbiak di dalam goa gelap Aerodramus vanikorensis dapat menyusun sarangnya dari bahan tumbuhan dengan perekat sedikit air liurnya.  Lain halnya dengan Aerodramus fuciphagus; kaki spesies ini tidak memiliki kemampuan untuk membawa bagian-bagian tumbuhan bahan sarang sedangkan paruhnya tetap harus terbuka untuk menghasilkan suara klik sehingga Aerodramus fuciphagus terpaksa harus membuat sarangnya mutlak dari air liurnya.   
Telinga satwa yang memanfaatkan echolokasi merupakan penerima dari sistem olah karena itu kegunaan alat pendengar pada jenis ini sangat menarik.  Burung umumnya tidak mendengar frekuensi tinggi (tidak sama dengan mamalia pada umumnya) dan baru diobservasi dan memberi kesan bahwa Steatornis  tidak terkecuali.  Bagian dalam telinga dan bagian pendengaran pada otak keduanya menunjukkan kepekaan lebih luas, dari 250 Hz sampai 8 kHz dengan puncak yang kuat pada 2 kHz. 
Penulis: Mas Noerdjito

TRIK & TIPS RBW

SUARA CEK LOKASI WALET

Bagi teman-teman yang ingin survey lapangan melakukan cek lokasi sebelum memastikan untu mendirikan bangunan gedung walet, boleh menggunakan...

ARTIKEL TRENDING